airtronicfirearms.com

Trump 2.0 dan Peluang Kembalinya Agenda Abraham Accord di Timur Tengah

Benjamin Netanyahu memiliki hubungan politik yang dekat dengan Donald Trump.
Lihat Foto

ALL hell will break out. If those hostages aren’t back, I don’t want to hurt your negotiation, if they’re not back by the time I get into office, all hell will break out in the Middle East,” ucap Presiden terpilih Amerika Serikat Donald Trump kepada para reporters pada acara news conference di Mar-a-Lago, Florida, 7 Januari 2025 lalu.

Penyataan Donald Trump Presiden ke 47 negara Paman Sam tersebut memberikan sinyal yang jelas bahwa Amerika Serikat di bawah kepemimpinannya akan kembali kepada model relasi Amerika Serikat-Israel di tahun 2017-2020, selama masa kepemimpinan pertama Donald Trump sebagai Kepala Negara.

Donald Trump diprediksi akan berusaha semaksimal mungkin meneruskan ambisi geopolitik yang terkandung di dalam Abraham Accord, yang telah berhasil menormalisasi hubungan diplomatik antara Israel dengan Uni Emirat Arab dan Sudan, tanpa konsesi apapun untuk Palestina.

Hal tersebut akan berpeluang besar untuk terwujud, mengingat periode kedua Trump ini atau Trump 2.0 juga bertemu dengan kepemimpinan nasional di Israel; yang tidak berbeda dengan era pertama Donald Trump berkuasa, yakni Benyamin Netanyahu, tepatnya Netanyahu 4.0.

Sebagaimana telah disaksikan empat tahun lalu, keduanya cenderung simetris dalam banyak hal dan banyak isu.

Dengan kata lain, pertama, di bawah kepemimpinan Donald Trump, Amerika Serikat berpeluang besar untuk menganggap bahwa solusi dua negara bukan lagi sebagai solusi yang relevan untuk menyelesaikan masalah Israel-Palestina.

Artinya, Donald Trump dan Netanyahu kemungkinan besar tidak akan lagi menjadikan solusi dua negara sebagai tawaran diplomatik kepada negara-negara Timur Tengah lainnya untuk menormalisasi hubungan diplomatik dengan Israel.

Trump yang dijadwalkan akan dilantik sebagai Presiden AS ke-47 pada 20 Januari 2025 itu akan berusaha untuk menekan beberapa negara di Timur Tengah, dengan berbagai bentuk konsesi atau perpaduan antara konsesi dan ancaman, agar segera membuka pembicaraan diplomatik dengan Israel sebagai langkah awal untuk menormalisasi hubungan diplomatik.

Hal serupa dilakukan oleh Trump kepada Sudan pada 2020 lalu, setelah Abraham Accord sukses ditandatangi oleh Tel Aviv dan Abu Dhabi.

Kedua, Trump dan Netanyahu diprediksi akan sama-sama menegasikan dan mendeligitimasi eksistensi Hamas dan apapun yang terkait dengan Hamas di kancah global.

Kedua pihak akan semakin menggelorakan Hamas sebagai organisasi teroris yang harus dibasmi di satu sisi dan didelegitimasi oleh negara-negara lainnya di Timur Tengah di sisi lain.

Hal serupa juga kemungkinan besar akan dialami oleh organisasi seperti Hizbullah. Apalagi Iran sebagai pendukung dan pendonor utama Hamas dan Hizbullah sudah terpantau semakin terlemahkan, begitu juga dengan Rusia, yang juga secara tidak langsung dianggap berada di belakang Iran.

Risikonya, gempuran Israel atas Hamas, yang dalam setahun terakhir berlangsung sangat masif, akan berpotensi untuk tidak berlanjut atau setidaknya tidak semakin masif seperti sebelumnya, selama negosiasi antara kedua belah pihak bisa berjalan sebagaimana keinginan Amerika Serikat dan Israel, terutama terkait dengan negosiasi pelepasan orang-orang Israel yang telah dan masih disandera oleh Hamas.

Hal itu berpeluang terjadi, selama Gedung Putih berhasil melakukan negosiasi bilateral dengan negara-negara sponsor atau terkategori memberi dukungan kepada Hamas selama ini.

Ketiga, Donald Trump akan kembali mendekati Mohammed bin Salman Al Saud (MBS) untuk memuluskan rencana-rencana tersebut.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat