airtronicfirearms.com

Vonis Donald Trump dan Kekosongan Hukum Tata Negara

Donald Trump menang telak dalam Pilpres Amerika Serikat 2024.
Lihat Foto

KURANG dari dua minggu menjelang dilantik sebagai Presiden ke-47, Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump, dijatuhi vonis atas dakwaan tindak pidana menyembunyikan pembayaran uang tutup mulut sebesar 130.000 dollar AS kepada Stormy Daniels.

Vonis ini dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri New York pada Jumat, 10 Januari 2025, pukul 09.30 waktu setempat.

Vonis Donald Trump mengundang perdebatan di kalangan para ahli Hukum Tata Negara, di Amerika secara khusus, terkait kekebalan hukum bagi presiden terpilih yang belum dilantik, apakah setara dengan presiden yang sedang menjabat atau memiliki hak hukum yang berbeda.

Di banyak konstitusi di dunia, termasuk di Indonesia, pengaturan presiden terpilih yang menghadapi vonis pidana sebelum dilantik merupakan salah satu masalah tata negara yang kurang diatur secara spesifik.

Hal ini menciptakan kekosongan hukum yang berpotensi memicu krisis politik, debat konstitusi, dan berimplikasi pada legitimasi hasil pemilu dan proses pelantikan.

Seperti dikutip Kompas, hakim menjatuhkan vonis unconditional discharge atau bebas tanpa syarat kepada Trump karena konstitusi Amerika Serikat melindungi Presiden AS dari tuntutan pidana.

Hakim Juan Merchan menyatakan Trump tak perlu menjalani penjara, denda, masa percobaan, maupun hukuman lainnya.

Meski demikian, pelantikan Trump sebagai Presiden AS pada 20 Januari 2025 mendatang, tidak akan menghapus putusan bersalah dari juri. Ia tetap dinyatakan bersalah dan terekam dalam catatan kriminalnya.

Dengan catatan kriminal itu, Trump akan menjadi presiden pertama AS yang menjabat dengan status narapidana.

Imunitas presiden terpilih

Silang pendapat mengenai kekebalan hukum (imunitas) presiden terpilih yang belum dilantik bermuara pada dua perspektif.

Pertama, presiden terpilih telah mendapatkan legitimasi penuh dari pemilih, sehingga harus dilindungi dari proses hukum yang dapat mengganggu transisi kekuasaan.

Hasil proses demokrasi elektoral memberikan prioritas mandat rakyat di atas persoalan hukum secara individual.

Kedua, supremasi hukum adalah prinsip fundamental yang tidak boleh dikompromikan. Dalam perspektif ini, tidak ada seorang pun, termasuk presiden terpilih, yang berada di atas hukum.

Jika seorang presiden terpilih terbukti secara hukum melakukan tindak pidana, maka proses hukum harus tetap berjalan tanpa intervensi dan berdampak pada legitimasi politiknya.

Hal yang lumrah di kebanyakan konstitusi di dunia, kekebalan hukum (imunitas) hanya diberikan kepada presiden yang sedang menjabat untuk menjalankan tugas-tugas negara.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat