airtronicfirearms.com

Suriah, Indonesia, dan Faksi Terorisme

Suasana Kota Hama setelah dikuasai pemberontak di Suriah. Pemberontak Suriah mengumumkan berakhirnya kekuasaan Presiden Bashar Al Assad pada Minggu (8/12/2024). Mereka menggulingkannya ketika berhasil mengusasai Ibu Kota Damaskus dan membuat Assad  melarikan diri.
Lihat Foto

STABILITAS kawasan Timur Tengah tidak hanya menjadi urusan regional, tetapi juga berdampak langsung pada perdamaian global. Konflik yang terus meningkat, khususnya di Suriah Utara, semakin memperumit situasi geopolitik.

Eskalasi signifikan terjadi antara Pasukan Demokratik Suriah (SDF) dan milisi pro-Hayat Tahrir al-Sham (HTS) yang didukung oleh Turkiye.

Dalam kurun waktu tidak sampai seminggu, serangan udara dan penggunaan drone telah merenggut lebih dari 100 nyawa di wilayah seperti Al Manbij, Tall Tamr, Deir Ezzor, Al Hasakeh, hingga pedesaan Aleppo.

Bantuan militer udara Turkiye turut memperdalam konflik ini, mencerminkan keterlibatan pihak ketiga yang memperburuk krisis.

Baca juga: Diplomasi Indonesia di Tengah Konflik Suriah

Menlu Turkiye, Hakan Fidan, baru-baru ini juga menegaskan bahwa Turkiye akan melanjutkan serangan terhadap posisi SDF hingga mereka menyerah, dengan alasan mengamankan stabilitas kawasan dan keamanan perbatasan.

Turkiye juga menyatakan komitmennya untuk mendukung transisi politik di Suriah demi menciptakan perdamaian jangka panjang.

Keterlibatan Turkiye dalam konflik Suriah bukanlah fenomena baru. Hubungan antara kedua negara telah lama diwarnai ketegangan, setidaknya akarnya berasal dari berbagai isu historis dan geopolitik.

Salah satu persoalan utama adalah sengketa wilayah Hatay, yang masih dianggap sebagai bagian dari Suriah oleh Damaskus.

Di sisi lain, isu sensitif mengenai aliran air Sungai Efrat juga menjadi sumber konflik, meskipun perjanjian pada 1987 menjamin jatah minimum untuk Suriah.

Lebih penting lagi, dukungan Suriah terhadap kelompok separatis PKK (Partai Pekerja Kurdistan) sejak pertengahan 1980-an, telah menjadi pemicu utama ketegangan.

PKK, yang dianggap Turkiye sebagai organisasi teroris, bertanggung jawab atas kematian lebih dari 30.000 warga Turkiye.

Baca juga: Turkiye Yakin Lenyapnya Milisi Kurdi di Suriah Hanya Masalah Waktu

Pemimpin PKK, Abdullah Öcalan, bahkan secara terbuka tinggal di Damaskus hingga akhir 1990-an, memicu respons keras dari Ankara.

Pada 1998, ketegangan meningkat hingga nyaris memicu perang setelah militer Turkiye bersiap melakukan serangan udara dan darat ke Suriah. Ancaman ini akhirnya memaksa Suriah mengusir Öcalan dan membatasi aktivitas PKK di wilayahnya.

Perbandingan dengan konflik di negara lain

Dalam memandang situasi Suriah saat ini, penting untuk membandingkannya dengan proses transisi politik di negara lain seperti Mesir dan Afghanistan.

Di Mesir, transisi terjadi melalui kudeta militer yang dipimpin oleh aktor pemerintah, yang pada akhirnya mendapatkan penerimaan dari komunitas internasional.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat