KDRT dan Perlindungan Hukum bagi Korban
Oleh: Haikal Ramzy, S.H.
Tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) kerap terjadi di berbagai lapisan masyarakat.
Belakangan, KDRT ramai diperbincangkan setelah tindakan tersebut terjadi pada selebgram Cut Intan Nabilla.
Sebagaimana diberitakan, Cut Intan Nabilla memendam rasa sakit, baik fisik maupun psikis, selama 5 tahun sebagai korban KDRT yang diduga dilakukan oleh suaminya, Armor Toreador.
Hal tersebut diketahui publik lantaran Cut Intan Nabilla mengunggah video kekerasan yang dialaminya ke laman Instagram miliknya.
Armor Toreador telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Polres Bogor. Armor diduga melakukan tindak pidana berkaitan dengan KDRT dan penganiayaan.
Meski KDRT sering terjadi, tak jarang masyarakat yang menjadi korban tidak membuat laporan dugaan tindak pidana ke kepolisian terhadap pelaku KDRT.
Keengganan untuk melaporkan dugaan tindak pidana KDRT karena berbagai alasan. Salah satunya ketidaktahuan aturan hukum yang memberikan perlindungan bagi korban dan ancaman pidana bagi pelaku.
Lantas, bagaimana hukum Indonesia memberikan perlindungan hukum kepada korban KDRT?
Jenis-jenis KDRT
Di Indonesia ada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU No. 23 Tahun 2004).
UU tersebut merupakan jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah KDRT, menindak pelaku, dan melindungi korban.
KDRT tidak hanya terbatas pada kekerasan fisik, namun setiap bentuk kekerasan yang berakibat pada timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Menurut aturan hukum, ada beberapa jenis KDRT yang perlu diketahui oleh masyarakat.
Pertama, kekerasan fisik, yakni setiap perbuatan yang menyebabkan adanya bekas luka, baik luka ringan atau luka berat, timbul rasa sakit dan nyeri, hingga menyebabkan kematian.
Kedua, kekerasan psikis, yakni perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Ketiga, kekerasan seksual. Perbuatan yang dikualifikasikan sebagai bentuk ini adalah pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut.
Termasuk pula pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.
Keempat, penelantaran rumah tangga. Ketentuan yang berkaitan dengan hal ini ada di Pasal 9 UU No. 23 Tahun 2004.
Terkini Lainnya
- Reklamasi Bekas Tambang: Ancaman Hukum Pengabaian
- Penegakan Hukum bagi Pemerkosa dan Pembunuh di Bawah Umur
- Sanksi Hukum Pelaku Penambangan Ilegal
- KDRT dan Perlindungan Hukum bagi Korban
- Aturan Demonstrasi: Penindakan Aparat hingga Pendapat Hakim
- Penggunaan AI oleh Hakim dan Arbiter dalam Memutus Perkara (Bagian III-Habis)
- Penggunaan AI oleh Hakim dan Arbiter dalam Memutus Perkara (Bagian II)
- Penggunaan AI oleh Hakim dan Arbiter dalam Memutus Perkara (Bagian I)
- Titik Seimbang Keterangan Ahli
- AI Pelacak Hukum dan Regulasi (Bagian II-Habis)
- AI Pelacak Hukum dan Regulasi (Bagian I)
- Voyeurisme dalam Hukum Pidana
- Perlindungan dan Jaminan Hukum dalam Kasus Peretasan PDNS2
- Hukum dan Keadilan "Kafkaesque"
- Perda Tindak Pidana Adat dan Kooptasi Negara Pasca-KUHP Baru
- Tol Solo-Klaten Bisa Dilintasi Mulai Jumat Dini Hari Nanti
- Belum Dapat Hasil Seleksi Administrasi CPNS 2024 di Hari Terakhir? Ini Solusinya
- Resmi Ajukan Bangkrut, Ini Sejarah dan Pendiri Tupperware
- Aturan Demonstrasi: Penindakan Aparat hingga Pendapat Hakim
- Penggunaan AI oleh Hakim dan Arbiter dalam Memutus Perkara (Bagian III-Habis)
- Penggunaan AI oleh Hakim dan Arbiter dalam Memutus Perkara (Bagian II)
- Penggunaan AI oleh Hakim dan Arbiter dalam Memutus Perkara (Bagian I)
- Titik Seimbang Keterangan Ahli