airtronicfirearms.com

Maskulinitas: Penghambat atau Pendorong Pemberdayaan Perempuan?

Parapuan.co - Konstruksi sosial membentuk pandangan bahwa maskulinitas hanya identik dengan laki-laki.

Hal ini memicu anggapan bahwa laki-laki harus memenuhi ekspektasi masyarakat untuk dianggap sebagai "pria sejati".

Ekspektasi ini meliputi dominasi, kekuatan, ketangguhan dan pengendalian emosi.

Konsep maskulinitas ini kemudian diadopsi dalam berbagai budaya dan lokasi geografis di seluruh dunia.

Namun, nilai-nilai maskulinitas yang restriktif dalam masyarakat seringkali menjadi hambatan bagi pemberdayaan perempuan dan kesetaraan gender.

Dan tak banyak disadari, maskulinitas resktriktif yang jadi hambatan dalam meraih kesetaraan gender ini juga bisa merugikan laki-laki itu sendiri.

Maskulinitas restriktif menjunjung norma-norma yang sering kali kaku dan mendorong gagasan serta harapan yang tidak fleksibel tentang apa artinya menjadi 'laki-laki sejati'.

Melansir dari OECD via PARAPUAN, setidaknya ada sepuluh norma maskulinitas restriktif yang secara langsung menghambat pemberdayaan perempuan.

1. Harus menjadi pemimpin yang dominan secara finansial. Laki-laki dituntut harus memiliki penghasilan yang lebih besar daripada perempuan.

Baca Juga: Bukan Lawan! Laki-Laki Adalah Sekutu untuk Menciptakan Dunia yang Setara

2. Harus menjadi pencari nafkah utama. Laki-laki dituntut untuk bekerja guna mendapatkan upah memenuhi kebutuhan materi rumah tangga.

3. Harus menjalani pekerjaan yang “laki-laki”. Laki-laki harus memperhatikan profesi yang oleh masyarakat didefinisikan sebagai “pekerjaan laki-laki” dan bukan yang dianggap sebagai “pekerjaan perempuan”.

4. Harus menjadi pengambil keputusan akhir dalam rumah tangga. Laki-laki dituntut bisa menempati puncak hierarki dalam rumah tangga.

5. Harus mengendalikan aset rumah tangga. Laki-laki didorong untuk memperkuat otoritasnya di rumah dengan mengendalikan dan mengelola aset rumah tangga.

6. Harus melindungi dan menjalankan perwalian anggota keluarga. Laki-laki dituntut menjadi 'wali' yang bertanggung jawab kepada perempuan dan anak perempuan dalam keluarga.

7. Harus mendominasi pilihan seksual dan reproduksi. Laki-laki dituntut memulai hubungan seksual dan membuat keputusan mengenai memiliki anak, mengatur jarak kelahiran, dan lainnya.

8. Tidak melakukan pekerjaan perawatan dan pekerjaan rumah tangga yang tidak dibayar (unpaid domestic work). Norma ini menganggap pekerjaan rumah tangga ini secara umum sebagai "pekerjaan perempuan".

9. Harus menjadi “pekerja ideal”. Laki-laki diharapkan untuk selalu mengutamakan pekerjaan di atas semua aspek kehidupan lainnya.

Baca Juga: Selingkuh dan Maskulinitas dalam Serial Jangan Salahkan Aku Selingkuh Marshanda

10. Harus menjadi pemimpin yang “manly”. Laki-laki diharapkan bisa mengembangkan gaya gaya kepemimpinan yang tegas dan menguasai ruang.

Norma-norma maskulinitas yang restriktif berdampak negatif pada perempuan dan anak perempuan.

Dalam bidang ekonomi, norma ini menyebabkan devaluasi kontribusi perempuan dan memperkuat pandangan bahwa tenaga kerja laki-laki lebih berharga dan penting dibandingkan pekerja perempuan.

Dengan kata lain, norma-norma maskulinitas tersebut memperkuat diskriminasi dengan mengucilkan perempuan dari partisipasi aktif dalam angkatan kerja, jabatan strategis, dan proses pengambilan keputusan.

Sementara dalam bidang politik, norma-norma ini menegakkan pandangan bahwa kepemimpinan adalah karakteristik maskulin dan laki-laki secara inheren menjadi pemimpin yang lebih baik daripada perempuan.

Begitu juga dalam bidang pribadi, norma-norma yang mendefinisikan peran laki-laki sebagai pembuat keputusan meminimalkan agensi dan kekuatan pengambilan keputusan perempuan dan anak perempuan atas waktu, tubuh, dan sumber daya mereka.

Maskulinitas yang Setara Gender

Selama ini kita menganggap bahwa menjadi maskulin adalah 'lawan' dari sifat feminin, yang kerap dimaknai sebagai rival bagi perempuan untuk bisa berdaya.

Terlebih lagi selama ini maskulinitas yang mengatur masyarakat membentuk peluang dan kendala bagi perempuan dan anak perempuan di semua aspek kehidupan, terutama dalam bidang ekonomi, politik, dan pribadi.

Baca Juga: Dunia Minim Kepemimpinan Perempuan: Hanya 5 Presiden Perempuan Terpilih Sepanjang 2024

Pada beberapa kasus memang demikian. Namun, tak selamanya maskulin mengindikasikan sesuatu yang buruk.

Sebagai contoh gender-equitable masculinity (maskulinitas yang setara gender), yang memungkinkan laki-laki mengambil peran yang lebih beragam dan fleksibel, tanpa harus membatasi ruang gerak perempuan.  

Misalnya, maskulinitas yang setara gender ini tidak mendefinisikan peran laki-laki dalam rumah tangga hanya sebagai penyedia, tetapi lebih memungkinkan keterlibatan mereka yang lebih penuh dalam semua aspek kehidupan rumah tangga, termasuk perawatan yang tidak dibayar dan pekerjaan rumah tangga.

Lebih jauh lagi, dengan mengakui kontribusi ekonomi yang dilakukan perempuan, maskulinitas yang setara gender mendukung akses perempuan yang lebih luas terhadap pendidikan, pasar tenaga kerja, dan peran pengambilan keputusan.

Untuk mendorong maskulinitas yang setara gender, yang mempromosikan pemberdayaan perempuan dan memberikan dukungan terhadap kesetaraan gender, diperlukan pemahaman yang setara dan langkah konkret di semua aspek masyarakat. 

Mulai dari meningkatkan kesadaran tentang kesetaraan gender dan dampak maskulinitas restriktif, mengembangkan kebijakan yang mendukung kesetaraan gender, meningkatkan partisipasi perempuan dalam berbagai bidang hingga meningkatkan kesadaran tentang maskulinitas yang sehat dan positif.

(*)

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat