airtronicfirearms.com

Ultraman Senayan dan "Atraksi Politis" Jilid ke Sekian

Anggota DPR terpilih Jamaludin Malik menggunakan kostum Ultraman menjelang dilantik di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (1/10/2024).
Lihat Foto

ULTRAMAN masuk Senayan. Gimmick anggota legislatif dari Dapil Jawa Tengah II, Jamaludin Malik, menjadi sorotan di hari pelantikan DPR dan DPD RI terpilih periode 2024-2029, Selasa (1/10/24).

Politikus Partai Golkar tersebut konsisten memakai kostum Ultraman sejak berkampanye. “Terobosannya” berbuah 118.402 suara sah yang mengantarkannya ke Gedung Paripurna, Kompleks Parlemen, Senayan.

Jamaludin sekali lagi sudah membuktikan bahwa keganjilan – yang merupakan bumbu humor – telah membuatnya jadi pembicaraan.

Normalnya, anggota legislatif datang di acara pelantikan mengenakan setelan jas formal. Namun, ia malah datang dengan kostum nyeleneh.

Meski akhirnya harus ganti baju demi diizinkan mengikuti prosesi, setidaknya, namanya sukses masuk pemberitaan berbagai media.

Perhatian publik sudah malas atau malah ada yang muak dengan “hajatannya” para politikus ini pun mau tak mau jadi tersita.

Kita boleh mengangguk saat Jamaludin mengungkap filosofinya memakai kostum superhero asal Jepang itu, yakni sebagai “simbol pembasmi kejahatan”. Namun, kita juga perlu menyadari kalau ia sedang melakukan atraksi politis.

Dalam perspektif kajian humor, atraksi politis (political stunt) sebenarnya lebih identik dengan aktivisme atau cara rakyat mengomunikasikan keresahannya.

Misalnya, ada Srdja Popovic yang menuliskan pengalamannya dalam mengorganisasi massa untuk menggulingkan secara damai rezim Slobodan Miloševi.

Lewat Blueprint for Revolution (2015), aktivis Serbia tersebut menceritakan akrobat-akrobat unik inisiasinya yang ia labeli sebagai laughtivism, seperti memukul tong yang ditempeli foto si diktator.

Karena tidak ada pelanggaran hukum, akhirnya pihak berwajib membubarkan kerumunan masyarakat yang sedang protes itu dengan “menangkap” tong yang dipukuli sedari tadi.

Ada juga Sørensen dalam bukunya Humorous Political Stunts: Nonviolent Public Challenges to Power (2015), yang menyoroti ragam strategi publik berbagai negara untuk merebut perhatian sesamanya juga kaum elite, dari menyindir lembut sampai keras memaki.

Atau buku A Comedian and an Activist Walk into a Bar (2020) karya Chattoo dan Feldman, yang membedah strategi meningkatkan awareness soal perubahan iklim dan kemiskinan struktural melalui komedi.

Intinya, sejak ditulisnya Philogelos – buku kumpulan lelucon pertama di dunia – lahir dan sang bapak komedi, Aristophanes, mulai mementaskan karyanya lebih dari 2000 tahun lalu, memang begitulah humor secara politis berfungsi: koreksi sosial.

Sifat alamiah humor tersebut muncul karena paksaan. Sebab lazimnya, elite dan rezim menguasai beragam media komunikasi, dari podium-podium sampai pendengung alias buzzer dunia maya.

Terkini Lainnya

Tautan Sahabat